“Apapun Risikonya, Saya Hapus Tato Ini”

Posted Date : 14-02-2019, berita ini telah dikunjungi sebanyak 222 kali.


Hidayatullah.com– Namanya cukup panjang, tapi bolehlah disingkat dengan panggilan inisial, Kaes. Pria berusia 35 tahun ini punya nasib yang kurang beruntung. Niat baiknya menikah malah berujung pidana.

Kaes kini mendekam di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Kembangkuning, Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah.

Apa pasal?

“(Kasus) nikah di bawah umur,” tuturnya saat ditemui tim IMS-hidayatullah di LP Kembangkuning, Jumat (08/02/2019) lalu.

Kaes mengaku, pada tahun 2013, ia menikahi seorang gadis berusia 17 tahun di kampungnya di Purwodadi, Kabupaten Grobogan, Provinsi Jawa Tengah perbatasan dengan Jawa Timur.

Singkat kisah, rupanya ada yang melaporkan pernikahan tersebut, lalu membawanya ke ranah hukum. Kaes pun dijerat. Ia dimasukkan penjara. Entah bagaimana ceritanya, namun ia tak banyak bertutur lebih jauh soal itu.

Terlepas masalah tersebut, Kaes mengaku saat ini sedang menjalani proses hijrahnya di Nusakambangan. Salah satunya dengan berupaya melenyapkan tato di tubuhnya.

Bagi pria yang dulunya sehari-hari bekerja sebagai supir bus ini, menghapus tato bagian dari hijrah. Dengan menghapus tato, ia yakin bisa membuat orang lain senang, termasuk keluarga.

“Hijrah itu menyenangkan orang lain, dalam perilaku selalu bermanfaat. Ada dampak yang terbaik,” tuturnya.

Bukankah keluarganya jauh dari Nusakambangan?

Ya, tapi Kaes tetap bersikukuh menghapus tatonya. Sebab anaknya sudah tahu jika Kaes bertato justru saat menjenguk Kaes di LP Permisan, Nusakambangan, tahun 2018 lalu.

Saat itu, tutur Kaes, sang anak tampak kaget melihat ayahnya bertato. “Ini Bapak tatoan kayak preman,” ungkap anaknya saat berjumpa sang ayah kala itu.

Mendengar ungkapan itu, Kaes pun terenyuh. Ada perasaan bersalah di lubuk hatinya terhadap anaknya atas tato yang dimilikinya.

Sebagai ayah, Kaes pun tak ingin buah hatinya terbebani mentalnya karena tatonya itu. Ia bertekad menghapus tato-tatonya bagaimanapun juga risiko yang harus dihadapi.

“Apapun risikonya saya hilangin (tato ini),” ungkapnya yang punya beberapa tato termasuk di tangannya. Yang disebut terakhir ini sudah hilang sebagian, setelah ia hapus dengan cara paksa.

“Sempat (saya) kasih sabun porselen,” ujarnya seraya menunjukkan bekas luka hasil hapus tato di lengannya.

Gayung bersambut. Keinginan Kaes menghapus tato mendapatkan kemudahan. Adalah lembaga kesehatan Islamic Medical Service (IMS) bekerja sama Majelis Ta’lim Telkomsel (MTT), YBM PLN, dan pihak Ditjen PAS Kemkumham secara lebih khusus LP Kembangkuning.

Pada Jumat-Sabtu (08-09/02/2019), di LP ini digelar program hapus tato gratis bagi para napi, diikuti 89 peserta, termasuk Kaes.

Kaes pun berterima kasih kepada pihak penyelenggara hapus tato gratis yang menyambangi LP Kembangkuning tersebut. Ia antusias mengikuti kegiatan ini. Ia berharap kegiatan ini terus berlanjut ke depannya dan lebih baik lagi.

“Saya sangat bersyukur adanya program ini. Allah berikan jalan (untuk hapus tato),” ungkapnya.

Citra Negatif

Kaes mengaku, tato-tatonya dibuat semasa bujang dulu pada bulan Desember tahun 1999. “Pas bulan puasa,” sebutnya, saat ia itu berusia 14 tahun.

Kenapa pake tato? “Karena pergaulan, karena kepengen (saja),” tutur pria asal Bojonegoro kelahiran tahun 1985 ini.

Meskipun pernikahannya dipermasalahkan secara hukum, namun hubungan rumah tangganya tetap terjalin. Pada tahun 2014, istrinya melahirkan anak pertamanya. Saat itu Kaes mendekam di LP Narkotika, Nusakambangan. Ketika anaknya berusia 2 tahun, timbullah kesadarannya untuk menghapus tatonya. Ada perasaan bersalah baginya.

Kaes mengakui, punya tato memberikan citra tidak baik. “Dampaknya pasti negatif dulu oleh (pandangan) masyarakat,” akunya.

Makanya, hijrah baginya merupakan jalan terbaik. “Saya mau mengubah (diri), mungkin dulu suram, sekarang itu terang,” tuturnya.

Ia pun menitipkan nasihat buat para pembaca:

“Kebaikan itu buahnya dirasakan orang lain (bukan hanya diri sendiri).”

Sampai saat ini, Kaes masih rutin berkomunikasi dengan istrinya lewat telepon khusus yang disediakan pihak LP. Biasanya jadwal meneleponnya satu kali sepekan, kadang 2 pekan. “(Sekali menelepon) 5 menit,” ujarnya.

Walaupun jatah waktu menelepon tiap napi dibatasi begitu, ia tetap mensyukuri dan menjalani aktivitas di LP. “Ini ujian,” imbuh Kaes.

Ia mengaku, dalam kasusnya, awalnya ia divonis penjara 4,5 tahun. Ia naik banding, hukuman malah bertambah jadi 10 tahun. Sejauh ini sudah 5 tahun lebih berjalan hukumannya. Dia sudah mendapatkan remisi 20 bulan. Jika berhasil dapat pembebasan bersyarat (PB), ia memperkirakan akan bebas pertengahan tahun 2019 ini.

Kalau PB enggak dapat? “2021 pulang,” ujarnya tapi tetap berharap segera menghirup udara bebas di luar sana. Aamiin….!* Abdus Syakur/IMS/Hidayatullah.com

Rep: Admin Hidcom
Editor: Muhammad Abdus Syakur

Sumber : https://www.hidayatullah.com/feature/kisah-perjalanan/read/2019/02/14/159900/apapun-risikonya-saya-hapus-tato-ini.html