Pengeboran Minyak Ilegal: Usir Satwa, Cemari Sumur Warga

Posted Date : 03-04-2019, berita ini telah dikunjungi sebanyak 380 kali.


Jambikita.id - Aktivitas pengeboran minyak tanpa izin di Jambi berdampak sangat serius terhadap lingkungan.

Aktivitas itu tidak hanya mengganggu habitat satwa, tetapi juga sudah mencemari sumur warga, bahkan telah merambah Taman Hutan Raya (Tahura) Sultan Thaha Syaifuddin.

Penindakan yang dilakukan aparat kepolisian bersama pemerintah belum efektif mengatasi pengeboran minyak ilegal di Jambi.

"Penegakan hukumnya belum maksimal. Masih spot by spot, hanya menyasar pekerja. Sementara pemodalnya dibiarkan bebas," kata Direktur Walhi Jambi, Rudiansyah, kepada Jambikita.id, Senin (1/4/2019).

Pemerintah juga dinilai lamban dalam memetakan 'faktor x' di balik pengeboran minyak ilegal. Masyarakat lokal banyak menjadi pekerja, bukan pemilik.

Dia mencontohkan, keinginan warga Desa Pompa Air, Kecamatan Bajubang, Kabupaten Batanghari, untuk bergelut dengan minyak ilegal bisa jadi bukan melulu karena faktor ekonomi. Hutan yang tidak lagi memberikan pendapatan dan minimnya pengetahuan terkait kerusakan lingkungan adalah kemungkinan yang mendorong masyarakat menjadi pekerja.

Rudiansyah menegaskan agar aparat kepolisian, militer, dan pemerintah untuk bersinergi membongkar aktor intelektual dibalik aktivitas pengeboran minyak ilegal yang menyebabkan kerusakan lingkungan.

Tanpa adanya keseriusan dalam penegakan hukum, imbuhnya, pengeboran minyak ilegal ini dapat merusak lingkungan dan mengancam kesehatan masyarakat setempat, serta membutuhkan biaya besar untuk merestorasi lingkungan di kawasan tersebut.
Pengeboran minyak tanpa izin ini telah merambah Tahura Sultan Thaha dan termasuk dalam wilayah kerja pertambangan (WKP) Pertamina EP. Berdasarkan foto udara, jumlah titik pengeboran minyak ilegal paling minimal 1.500 titik.
Dampak pengeboran minyak ilegal terhadap lingkungan sangat buruk. Ribuan spesies burung dan serangga sudah sulit ditemukan di kawasan pengeboran minyak ilegal.

Hasil survei Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Batanghari, sumur warga Desa Pompa Air telah tercemar dengan tingkat keasaman airnya menembus angka Ph-5. Air tersebut kini tidak layak konsumsi. "Gigi bisa rontok kalau minum airnya," kata Kepala DLH Batanghari, Parlaungan Nasution.

Dia mengungkapkan kondisi terkini bahwa dampak dari pengeboran minyak ilegal telah merusak Tahura. Pencemaran sungai, kata Parlaungan, telah 'membunuh' spesies ikan.

Hasil pengujian pada Sungai Anak Brangan dan Danau Merah juga menunjukkan suhu airnya mencapai 36 derajat. Sedangkan ikan bisa hidup normal dengan suhu pada kisaran 28-30 derajat.

Satwa burung juga sulit ditemukan, karena kawasan pengeboran minyak ilegal telah membuat kebisingan. Hasil pengukuran terakhir, tingkat kebisingan jauh di atas normal, yakni 63,93 desibel. Batas toleransi kebisingan hanya 55 desibel.

"Total luasan Tahura Sultan Thaha sebanyak 15.830 hektare. Aktivitas pengeboran semakin masif beberapa tahun terakhir. Untuk Tahura sendiri, per Januari 2019 lalu, sudah 50 hektare dirambah dan penyangga Tahura seluas 10.000 hektare berubah menjadi kawasan pertambangan ilegal," papa Parlaungan.

Yasdi, Dosen Teknik Lingkungan Universitas Jambi (Unja), mengingatkan pemerintah maupun penegak hukum bahwa pengeboran minyak ilegal bisa memicu ledakan besar, yang berpotensi melalap sejumlah desa yang dekat dengan lokasi pengeboran.

"Pengeboran dilakukan dengan mengabaikan standar keselamatan, tentu berpotensi akan memicu ledakan dan merusak lingkungan, sebab minyak mentah mengandung beberapa jenis hidrokarbon yang mudah terbakar," jelasnya.

Menurut Yasdi, kondisi tersebut tinggal menunggu bom waktu. "Ada sumber panas yang cukup. Maka ledakan itu terjadi," katanya.

Tumpahan minyak yang terdapat di lokasi pengeboran, sambung Yasdi, mengandung beberapa senyawa yang dapat merugikan kesehatan masyarakat dan hewan, diantaranya adalah senyawa benzene (C6H6), toluene (C7H8), xylene (C8H10).

Ketiga bahan ini dapat menyebabkan iritasi pada kulit dan saluran pernafasan, menyebabkan sakit kepala, serta mual. Selain itu, benzene dapat menyebabkan kanker dan xylene merusak organ tubuh (sistem saraf pusat, hati, ginjal) jika terpapar secara berulang.

Ini berdasarkan hasil uji toksisitas terdapat dalam Material Safety Data Sheet by Merck Chemical yang telah memenuhi peraturan Registration, Evaluation, Authorisation of Chemicals REACH Eropa.

Tidak hanya itu, potensi bahaya yang terakhir adalah bagi masyarakat yang menggunakan produk hasil penyulingan minyak ilegal dapat mengalami masalah kebakaran dan ledakan saat penggunaan minyak tersebut.

Hal ini terjadi karena fraksi minyak hasil olahan melalui penyulingan (distilasi) ilegal yang tidak sesuai standar tersebut masih dapat bercampur antara kerosin, premium, dan senyawa alkana jenis lain yang mudah terbakar.

"Jika minyak ini digunakan untuk keperluan memasak (kompor) akan mengakibatkan ledakan/kebakaran. Apabila dioplos dengan bahan bakar untuk kendaraan bermotor (BBM) dapat mengganggu proses pembakaran pada mesin tersebut. Motor bisa langsung mati total," jelas Yasdi.

Dia menyebutkan bahan bakar berupa premium, pertalite, solar, dan minyak tanah dijual bebas pada pertamini dan pedagang eceran. Yasdi juga berpesan agar masyarakat berhati-hati dalam membeli minyak eceran agar tidak menerima pasokan minyak dari hasil penyulingan ilegal.

Selain itu, dia mendesak pemerintah Dinas ESDM dan Pertamina melakukan uji kualitas BBM, baik yang dijual SPBU maupun yang beredar di masyarakat, guna memastikan produk tersebut aman digunakan. (suwandi)

Sumber : https://kumparan.com/jambikita/pengeboran-minyak-ilegal-usir-satwa-cemari-sumur-warga-1554197329709222938