Menjaga Tradisi Meracik Kopi Saring Khas Aceh

Posted Date : 26-04-2019, berita ini telah dikunjungi sebanyak 808 kali.


Fauzi sigap mengangkat saringan besar tinggi-tinggi di tangan kiri, setelah menumpahkan air hitam dari gayung di kanannya. Beberapa gelas dan sebuah gayung lain menampung kopi di bawahnya. Harum aroma kopi menyerbak, memenuhi dapur warung Kopi Solong, Ulee Kareng, Banda Aceh.

Sesaat kemudian, bubuk kopi dalam saringan ditaruh dalam gayung aluminium, dipanaskan di tungku api sampai pelanggan kembali memesannya. Sebagian warung masih memakai arang kayu sebagai pemanas tungku, sebagian besar memakai gas elpiji.

Menjadi barista tradisional spesialis menyeduh kopi Aceh telah dilakoni Fauzi dua puluh tahun lebih di warung tiga generasi itu. Seluk beluk menyajikan kopi dipahaminya, bahkan sebagian pelanggan setia telah diketahui seleranya, kopi kental atau encer.

Sebagai peracik kopi ia pun tahu kapan harus mengganti bubuk, mengacu pada berapa gelas yang telah dihasilkan, serta takaran sekali isi dalam saringan.

Perkara menyeduh kopi secara tradisional di Aceh, masih bertahan hingga kini, belum tergantikan mesin-mesin. Metodenya unik dan hanya ada di Aceh, yakni memakai kain saringan besar yang dibuat seperti bentuk kaus kaki.

Rasa kopi juga ditentukan saat mengolah bubuk, takaran bubuk, dan cara mengangkat saringan. “Semakin tinggi saringan diangkat, kopinya semakin nikmat,” kata Fauzi, Jumat (26/4).

Di warung lain, Solong Premium, Gampong Beurawe, Maula juga sibuk melayani pelanggan yang datang silih berganti. Dia barista tradisional generasi ketiga, masih belajar dari seniornya yang bernama Edo--yang belajar meracik kopi dari Fauzi.

Pemilik Warung Solong di Ulee Kareng, dan Solong Premium di Beurawe masih satu darah. Mereka adik-kakak, yang mengembangkan usaha warung kopi ke seluruh pelosok Banda Aceh. Warung Solong lebih tua, titisan orang tua mereka, Muhammad alias Abu Solong yang merintisnya tahun 70-an.

Tak heran, sebagian peracik kopi saring Aceh adalah alumni kedai itu. Bahkan sebagian telah mempunyai usaha warung sendiri. Salah satunya Chairul.

"Saya dulu berkerja di sana (warung Solong), sekitar tahun tahun 2000,” kata Chairul.

Usai dari sana, setahun sebelum tsunami menggulung Aceh pada 24 Desember 2004, dia bekerja menjadi peracik kopi tradisional di Warung Dek Chek, yang terletak di Depan Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh. Warung itu hancur, dan Chairul sempat berhenti sejenak lalu bekerja lagi di warung lain.

“Saya kemudian membuka warung sendiri di sini, sejak 2011,” kata Chairul di sela-sela melayani pengunjung. Warungnya bernama Arol Kupi, terletak di kawasan Jalan Panglima Nyak Makam, Lampineung, Banda Aceh.

Di warung yang dirintisnya, Chairul masih tetap memegang gayung meracik sendiri kopinya. Dia mendidik seorang rekannya, lalu bergantian membagi waktu shift bekerja. Kedainya, toko dua muka berlantai dua, buka dari pagi sampai tengah malam.

Selain harus tahan asap, tak ada syarat khusus lain menjadi barista kopi tradisional. Hanya harus tekun mempelajari cara-cara yang diwariskan para pendahulu. “Cara menyeduh kopi memengaruhi rasa kopi, jadi tidak asal-asalan,” katanya.

Dia menjelaskan, mengangkat saringan tinggi bukan sekadar gaya-gayaan. Tapi ini akan membuat asap di dalam kopi terurai karena hembusan angin. Semakin sedikit kadar asap, kopi semakin nikmat. “Racikan bubuk juga berpengaruh pada rasa. Kami mengambil bubuk sama Lem Mi,” kata Chairul.

Lem Mi adalah peracik bubuk kopi robusta tradisonal, yang menjadi langganan beberapa warung di Banda Aceh, maupun di Aceh.

Tradisi mengolah kopi saring memakai jenis kopi robusta yang tumbuh subur di kawasan Lamno, Aceh Jaya, dan sebagian wilayah Kabupaten Pidie. Sementara kopi arabika umumnya diolah dengan teknologi modern yakni memakai mesin.

Hingga kini, warung-warung terus tumbuh di Aceh, dengan para peracik penjaga tradisi.

Reporter: Adi Warsidi

Sumber : https://kumparan.com/acehkini/menjaga-tradisi-meracik-kopi-saring-khas-aceh-1qxe8HYBDHk