Tren "Fast Fashion" dan Larisnya Baju Bekas di Indonesia

Posted Date : 18-01-2019, berita ini telah dikunjungi sebanyak 166 kali.


Namanya boleh berbeda-beda di berbagai daerah. Di Jogja orang menyebutnya "awul-awul", sedangkan daerah lain baju bekas identik dengan istilah "Cakar" yang merupakan kepanjangan dari "Cap Karung".

Yang jelas, barang-barang seperti ini adalah baju bekas yang diimpor dari luar negeri kemudian didatangkan ke Indonesia kebanyakan melalui jalur ilegal dan tidak resmi karena memang sudah tidak diperkenankan lagi mengimpor baju bekas sejak tahun 2015.

Oke, isu higienitas memang selalu yang jadi highlight saat membahas baju bekas impor. Asalnya yang tidak jelas, penanganannya yang serampangan dan tentu saja harga diri yang kadang merasa risih saat harus memakai baju bekas orang lain jadi alasan beberapa orang tidak mau memakainya.

Tetapi berburu baju bekas ibarat mencari harta karun terpendam. Siapa yang tidak merasakan kepuasan saat menemukan sebuah jaket "The North Face" asli dalam kondisi masih bagus hanya dengan harga Rp. 50.000an yang harga aslinya bisa 50X lipat jika dibeli dalam kondisi baru. Bahkan jaket merk yang sama kualitas KW atau palsu justru lebih mahal dari Rp. 50.000.

Tren Fast Fashion

Jika Kompasianer pernah berbelanja di outlet milik Uniqlo, H&M, Zara, atau Giordano, seperti itulah gambaran produk-produk hasil dari tren Fast Fashion.

Semuanya dimulai dengan peragaan busana oleh desainer-desainer ternama untuk melihat tren busana ke depan, kemudian keesokan harinya desainer dari Zara tadi langsung membuat produk dengan tampilan mirip, dan dalam hitungan hari, pakaian-pakaian tersebut sudah diproduksi di rekanan-rekanan mereka yang kebanyakan di negara berkembang (seperti Kamboja, Vietnam, atau bisa juga China), dikirimkan dan tersedia di gerai-gerai mereka di seluruh dunia dan siap dibeli oleh konsumen bahkan sebelum baju dari desainer ternama di peragaan busana tadi tersedia di pasaran..

Fast Fashion memungkinkan pembeli mendapatkan barang tren terbaru dalam waktu paling cepat, harga murah dengan merk yang terkenal.

Murah disini mungkin banyak yang berpikir bahwa standar murahnya adalah murah versi Eropa, tapi bagi yang sudah pernah masuk outletnya H&M atau Giordano akan berpikir bahwa memang produk mereka itu sebenarnya tidak terlalu mahal. Relatif sama dengan pakaian yang dijual di Matahari atau Ramayana.

Efek adanya fast fashion ini di berbagai negara, adalah begitu gampangnya seseorang untuk gonta-ganti baju. Tren sebuah busana mungkin hanya akan bertahan selama 4 bulan (karena ada koleksi untuk 4 musim) dan paling lama 1 tahun.

Lewat dari itu, mereka sudah tidak mau lagi memakai baju yang sama karena sudah out of date, tidak musimnya lagi, walaupun kondisinya masih bagus.

Lalu kemana semua baju tidak terpakai tersebut? Tentu saja didonasikan atau dibuang, dilihat potensinya oleh pengepul, dikirim ke negara-negara berkembang yang mau menampung dan berakhir salah satunya di Pasar Senen sebagai salah satu sentra baju bekas di Jakarta. Hehe.

Kenapa Baju Bekas Populer di Indonesia?

Kondisi produk baju bekas saat ini jauh berbeda dengan masa-masa orang tua kita dulu. Dengan adanya fast fashion, baju bekas yang sampai di Indonesia saat ini jarang yang kelihatan kumuh, kucel atau dekil karena umurnya rata-rata masih 6 bulan s.d 2 tahun dipakai oleh pemakai sebelumnya.

Selain itu, merk-merk yang diincar pembeli juga mudah ditemui. Ralph Laurent, United Colors Of Benetton , bahkan S.Oliver yang tidak memiliki outlet resmi di Indonesia justru malah bisa didapat versi bekasnya disini.

Walaupun bekas, tetapi pembeli baju bekas tidak selalu dari kalangan kurang mampu. Jika Kompasianer ke Pasar Senen misalnya, tidak jarang ditemui yang berbelanja di sana adalah kalangan menengah ke atas.

Bahkan banyak vlog di channel youtube milik artis maupun influencer sosmed yang berbagi pengalamannya berburu baju bekas di tempat-tempat seperti Pasar Senen.

Anak-anak muda sekarang yang cenderung kreatif, unik dan ingin tampil beda juga mempengaruhi. Baju-baju bekas selalu hanya ada satu jenis jadi memang sedikit ada faktor lucky nya juga untuk mendapatkan barang yang diinginkan.

Soal higienitas toh sudah banyak laundry dan dryclean yang terjangkau. Tidak jarang anak-anak muda ini memodifikasi baju bekas yang mereka beli menjadi lebih fashionable.

Dampak Terhadap Lingkungan

Jadi masih anti terhadap baju bekas? Sebenarnya fast fashion memiliki dampak yang cukup besar terhadap lingkungan. Membuang sesuatu sebelum habis masa manfaatnya ibarat makan mengambil makanan satu piring tetapi hanya dimakan setengahnya saja. Sisanya dibuang.

Sampah menjadi masalah utama karena seandainya baju bekas tersebut tidak ditampung oleh negara-negara berkembang di Afrika atau Asia, akan menjadi gunungan sampah yang menumpuk di tempat pembuangan, sementara di belahan dunia lainnya banyak yg setengah mati membutuhkannya seperti korban perang di Suriah, pengungsi Rohingnya atau korban bencana alam.

Bahkan di Amerika sendiri banyak kaum homeless yang saking miskinnya tidak dapat memiliki baju. Jika fast food mendatangkan masalah food waste, maka fast fashion juga mendatangkan masalah fashion waste.

Industri Tekstil Dalam Negeri

Adalah salah satu alasan kenapa impor pakaian bekas dilarang. Selain tentu saja isu soal kesehatan. Tetapi terlepas dari legal atau tidaknya, jika terpaksa suatu saat nanti Kompasianer membeli "Cakar" karena tidak tahan melihat ada kemeja Massimo Dutti hanya seharga Rp. 30.000an dengan kondisi masih lumayan.

Usahakan untuk terlebih dahulu melakukan sterilisasi dengan direndam dengan antiseptic untuk membunuh kuman, merendam dalam air hangat untuk membunuh hewan-hewan kecil seperti kutu dan tungau atau bisa juga di dryclean di laundry tertentu yang lebih bisa menghilangkan noda dan memunculkan kembali warna yang pudar.

Walaupun banyak pro dan kontra soal baju bekas impor ini, yang jelas dengan memanfaatkan kembali barang yang sebenarnya masih bisa dipakai, merupakan salah satu cara mengurangi sampah dan mengurangi dampak buruk terhadap lingkungan, sebagai alasan pembenaran. Hehe.



Sumber : https://www.kompasiana.com/kotakireng/5c41521343322f509f0637f2/tren-fast-fashion-dan-larisnya-baju-bekas-di-indonesia