Infrastruktur Bukan Tolok Ukur Kesejahteraan

Posted Date : 19-01-2019, berita ini telah dikunjungi sebanyak 252 kali.


Era pemerintahan Joko Widodo dan wakilnya Jusuf Kalla, gencar melakukan pembangunan infrastruktur. Pemerintah memberikan porsi yang sangat besar untuk pembangunan infrastruktur ini. Dalam pidatonya, Jokowi menyebutkan bahwa pembangunan infrastruktur adalah suatu bentuk keadilan bagi rakyat. Pemerintah berpandangan bahwa pembangunan infrastruktur ini akan memperkuat konektivitas, menyambungkan berbagai potensi ekonomi ke seluruh Indonesia, memeratakan pembangunan, menumbuhkan kegiatan ekonomi baru, serta meningkatkan distribusi barang dan jasa. Hasilnya, diharapkan adanya peningkatan kesejahteraan masyarakat, pengurangan kemiskinan dan pengangguran serta pengurangan ketimpangan.

Mengenai anggaran dana yang digunakan pemerintah dari mulai tahun 2014 adalah sebesar 154,7 triliun dan meningkat setiap tahunnya. Hingga tahun 2018, penggunaan dana anggaran menjadi 410,7 triliun. Tidak hanya sampai disitu, dana anggaran untuk infrastruktur di tahun 2019 juga akan ditambah sebesar 110 triliun, sehingga diperkirakan menjadi 520 triliun. (CNBC Indonesia, 8/8/2018) Adapun dana tersebut diperoleh dari tiga sumber, yaitu APBN, BUMN dan swasta. Artinya, dana tersebut terdapat campur tangan pihak lain, dan bukan seutuhnya dari pemerintah.

Adapun infrastruktur yang dibangun dan telah disahkan akhir-akhir ini adalah Tol Trans Jawa. Pada 20 Desember 2018 kemarin, Presiden Joko Widodo meresmikan tujuh ruas Tol Trans Jawa. Memang, adanya pembangunan infrastruktur ini tentu akan memberikan efisisensi waktu bagi pengendara yang melewatinya, mempercepat distribusi logistik serta menciptakan konektivitas baru. Namun tentu itu semua tidak mudah dan tidak pula gratis untuk mendapatkannya. Dapat kita lihat dari adanya penetapan tarif Tol Jakarta-Surabaya saat ini sudah ditetapkan sebesar Rp600.000. (Tribunnews.com 6/1/2019)

Apabila kita melihat kondisi masyarakat saat ini, masih banyak ditemukan adanya ketimpangan sosial di masyarakat. Artinya, dengan adanya pembangunan infrastruktur yang ada dimana-mana tidak akan merubah keadaan masyarakat tersebut menjadi sejahtera, karena infrastruktur bukan merupakan akar masalah ketidaksejahteraan. Bagaimana tidak, jika masyarakat yang akan melewati jalan yang seharusnya dapat diperoleh gratis justru membayar dengan harga yang tinggi. Lalu, bagaimana akan sejahtera?

Faisal Basri, Ekonom Senior dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) mengatakan bahwa Indonesia merupakan negara maritim yang terdiri dari ribuan pulau. Apabila ingin mengintegrasikan, seharusnya transportasinya menggunakan transportasi laut yang bebas hambatan, efektif dan efisien untuk meningkatkan daya saing di Indonesia. Faisal Basri lantas menyebut bahwa pembangunan infrastruktur di pemerintahan Jokowi tidak semua ngawur, namun banyak yang ngawur.

Menurut sistem ekonomi Islam, kepemilikan dalam Islam terbagi menjadi tiga, yaitu pemilikan individu, pemilikan umum dan pemilikan negara. Pemilikan individu adalah izin yang diberikan kepada pembuat syariat pada barang bergerak dan tidak bergerak. Pemilikan umum adalah izin pembuat syariat atas jamaah memanfaatkan benda seperti api, air dan padang rumput, jalan raya, listrik, minyak dan sebagainya. Pemilikan negara adalah kekayaan yang pengelolaannya diserahkan kepada negara, seperti jizyah.

Adapun infrastruktur disini adalah termasuk dalam kepemilikan umum. Karena menjadi kepemilikan umum. Benda yang menjadi pemilikan umum merupakan semua benda yang menguasai hajat hidup orang banyak. Artinya, benda-benda yang termasuk kepemilikan umum tidak diperbolehkan dimiliki secara pribadi. Infrastruktur seperti jalan tol seharusnya dapat dinikmati oleh masyarakat secara gratis. Mengapa gratis, karena dalam kepemilikan umum siapapun dapat menggunakan sesuai kebutuhannya dan tidak diperbolehkan mengambil keuntungan di dalamnya.

Melihat kondisi seperti di atas, maka terdapat ketidaksesuaian pemilikan dalam hukum Islam. Sebagaimana yang kita ketahui, penggunaan segala pemilikan umum yang harusnya dapat dinikmati secara gratis, namun malah diberlakukan tarif hanya untuk melewatinya saja. Masyarakat yang mencari nafkah untuk mencukupi kebutuhan sehari-harinya saja tak seluruhnya dapat terpenuhi, bagaimana mungkin hanya untuk melewati saja membayar Rp600.000. adanya kondisi masyarakat yang dapat dikatakan belum mencapai taraf hidup yang sejahtera tersebut, maka disini jelas bahwa terdapat suatu kedzoliman yang dirasakan rakyat. Adapun dalam surat Al-Maidah ayat 45 menjelaskan tentang: “Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang telah Allah turunkan, maka mereka itu orang-orang yang zalim.”

Dari sini dapat kita simpulkan bahwa apabila hukum-hukum Allah tidak diterapkan sesuai ketetapannya, maka akan ada pihak-pihak yang terdzolimi. Ketika terdapat pihak-pihak yang terzalimi, maka tujuan kesejahteraan yang baik tidak akan tercapai. Jika kesejahteraan duniawi saja tidak tercapai, bagaimana mungkin tujuan utama mencari ridho Allah SWT akan diperoleh? Maka dari itu, saatnya kita benar-benar sadar dan segera ambil tindakan untuk kembali menerapkan hukum-hukum yang Allah SWT perintahkan. Wallahua’lam…

(Dwi Suryati Ningsih, S.H)

Sumber : https://suara-islam.com/infrastruktur-bukan-tolok-ukur-kesejahteraan/