Kasus Pelecehan Seks di Lingkungan Pemerintahan Kerap Ditutupi

Posted Date : 20-02-2019, berita ini telah dikunjungi sebanyak 177 kali.


Sejumlah pihak di Indonesia mendesak ada peraturan mengenai penanganan kasus-kasus pelecehan maupun kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan instansi pemerintah.

Langkah itu perlu ditempuh sebab menurut Komnas Perempuan, mayoritas korban tak berani melapor dan instansi kerap menutup-nutupi kasus seperti ini.

"Karena biasanya kasus-kasus begini, orang yang dilawan orang yang punya relasi kuasa yang lebih besar," ujar Komisioner Komnas Perempuan, Indriyati Suparno kepada BBC News Indonesia, Selasa (19/02).

Indriyati mengatakan semua kementerian atau lembaga pemerintah hanya mempunyai peraturan terkait etik dan sanksi administratif. Itu pun tidak tersosialisasi secara luas sehingga tak semua pegawai mengetahui.

"Di setiap instansi pemerintah, untuk kasus pelanggaran etika memang tidak spesifik mengatur pelecehan atau kekerasan seksual. Termasuk di BPJS yang menerapkan PP 88/2013," jelasnya.

Karena itu Komnas menyarankan pemerintah membuat peraturan khusus yang menjabarkan SOP (standar operasional prosedur) jika terjadi kasus seperti ini, mulai dari membentuk tim investigasi, melaporkan pelaku ke kepolisian, dan memberikan pendampingan psikologi kepada korban.

"Kalau pemerintah berkehendak dan ini jadi langkah maju, saya rasa penting. Karena fakta-faktanya banyak kejadian. Jadi buat suatu kebijakan yang berlaku di semua kementerian/lembaga," imbuhnya.

"Sehingga aturan mengenai SOP kasus-kasus kekerasan seksual atau dugaan kekerasan seksual yang dialami oleh pegawai instansi tidak hanya diselesaikan secara internal."

Dalam catatan Komnas Perempuan, tak banyak laporan kasus pelecehan maupun kekerasan seksual di lingkungan pemerintah. Selain karena mayoritas korban tak berani, instansi juga kerap menutup-nutupi kasus seperti ini.

Namun pada 2016 lalu, seorang pegawai Dirjen Pajak mengadu karena dilecehkan atasannya. Hanya saja oleh internal kementerian, pelaku hanya dimutasi.

Kemudian baru-baru ini, kata Indriyati, Komnas menerima laporan dari RA, staf ahli di Dewan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan. Korban mengaku diperkosa oleh Syarif Adnan Baharuddin yang merupakan anggota Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan.

Tapi, pelaku yang akhirnya mengundurkan diri karena dugaan kasus kekerasan seksual, diberhentikan secara hormat oleh Presiden Joko Widodo pada 17 Januari 2019.

Pendamping sekaligus kuasa hukum RA, Ade Armando, menyebut hasil investigasi Tim Panel Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) menyatakan Syarif Adnan Baharuddin terbukti melakukan perbuatan tercela dalam bentuk perbuatan maksiat dan tindakan yang melanggar kesusilaan serta agama.

Dengan adanya hasil ini, kata Ade, kian menguatkan laporan korban dan bakal mempercepat penyelidikan kasusnya di kepolisian. Sebab pelaku melaporkan balik kliennya atas tuduhan fitnah dan pencemaran nama baik melalui media sosial.

"Simpulan ini akan memperkuat gugatan yang kami lakukan. Karena akan terlihat ini (kasus kekerasan seksual) bukan omong kosong," ujar Ade Armando kepada BBC News Indonesia, Selasa (19/02).

Pasca putusan ini pula, ia berharap pimpinan BPJS Ketenagakerjaan merehabilitasi nama RA serta meminta maaf kepada korban.

"BPJS tidak boleh lepas tangan. RA adalah karyawati di salah satu organ BPJS Ketenagakerjaan."

Ade juga mengatakan sesungguhnya putusan Tim Panel sudah keluar sejak akhir Januari lalu, namun ada dugaan di tutup-tutupi internal DJSN karena menghentikan kerja tim secara sepihak.

"Untungnya Tim Panel cukup bagus untuk memutuskan terus bekerja meski sudah dibubarkan," ungkapnya.

"Jadi DJSN ini secara sengaja berusaha melindungi pelaku."

Kasus kekerasan seksual yang dialami RA terjadi dalam kurun waktu dua tahun.

Bosnya, Syarif Adnan Baharuddin diduga telah memerkosanya sebanyak empat kali.

Saat korban memutuskan membuka kasusnya ke publik, pelaku memutuskan mundur dari jabatannya sebagai anggota Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan. Sementara RA diberhentikan dari pekerjaannya.

Juru Bicara Badan Kepegawaian Negara (BKN), Muhammad Ridwan, mengakui tak ada aturan khusus untuk menangani korban kasus pelecehan maupun kekerasan seksual yang dilakukan sesama aparatur negara.

Segala pelanggaran disiplin pegawai negeri sipil (PNS) hanya menggunakan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 53 Tahun 2010 yang menjabarkan jenis tindakan dan hukuman untuk pelaku. Mulai dari ringan, teguran, penurunan pangkat, hingga pemberhentian.

"Kalau pelecehan seksual, kita lihat dulu kasusnya. Sebatas apa, karena kan beda-beda. Tapi karena pelecehan sifatnya pidana, maka bisa gunakan KUHP saja. Itu kalau ada yang mengadu," ujar Muhammad Ridwan.

Peraturan Pemerintah tersebut, kata Ridwan, biasanya dipakai untuk menghukum PNS yang tidak netral dalam pemilu, melanggar kesusilaan dan membuat ujaran kebencian.

Sumber : https://www.viva.co.id/berita/nasional/1123088-kasus-pelecehan-seks-di-lingkungan-pemerintahan-kerap-ditutupi