Semua Golongan Masyarakat di Indonesia Rentan Terpapar Radikalisme

Posted Date : 31-05-2019, berita ini telah dikunjungi sebanyak 667 kali.


Tidak ada satupun institusi maupun kelompok di Indonesia yang dinilai kebal terhadap radikalisme. Pasca reformasi 1998, paham ini dituding sebagai tantangan terbesar terhadap dasar negara Pancasila.

Radikalisme, begitu pula terorisme, akan masuk ke dalam masyarakat atau golongan masyarakat yang rentan terpapar.

Rentan terpapar, dalam konteks ini, berarti mereka yang dekat dengan akses, mempunyai komunikasi, saluran media dan sebagainya.

Radikalisme sendiri, menurut keterangan Kasubdit kontra propaganda direktorat pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Sujatmiko, meliputi empat hal yaitu anti-Pancasila, anti-NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), anti-Kebhinekaan dan menganut paham takfiri atau mengkafir-kafirkan orang.

"Apalagi tidak sama agamanya pasti dibilang kafir. Sama agamanya-pun kalau tidak sesuai dengan aliran mereka dibilangnya murtad," ujar Sujatmiko dalam diskusi "Kita Indonesia, Kita Pancasila" di kantor Kementerian Komunikasi dan Informatika, Jakarta (28/5/2019).

Paham radikalisme, papar Sujatmiko, selalu pasang-surut, dan pandai mengikuti perkembangan.

Radikalisme, baik secara offline lewat pertemuan-pertemuan, dan online, yang massif di dunia maya ini terus bergerak.

Meski demikian, pada prinsipnya, paham ini selalu memanfaatkan kondisi nasional yang kritis.

"Tidak ada, kalau dalam dunia pendidikan, satu kampus-pun, tidak ada satu pendidikan-pun di Indonesia ini yang imun (kebal) terhadap paham radikalisme dan terorisme."

"Betul-betul mereka masuk dalam berbagai lini. Ini betul-betul tantangan," sebut pejabat berpangkat Kolonel ini.

Lebih lanjut ia menuturkan, tantangan terhadap Pancasila untuk kondisi saat ini, terutama jika berhadapan dengan radikalisme, adalah bagaimana masyarakat Indonesia mengaplikasikan konsepsi tersebut dengan berbagai inovasi yang praktis.

Di sisi lain, Sekretaris Deputi VI Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Brigjen Pol Mamboyng, mengatakan tantangan yang dihadapi Pancasila saat ini sungguh berbeda dibanding era sebelumnya.

"Jadi kalau tantangan bangsa kita dahulu kala itu kan yang namanya perang itu cuma sekali, perang antar negara. Bukan perang antar saudara."

"Kalau perang saudara ya gampang nyebutnya, konfrontasi, konflik sosial dan sebagainya."

"Jadi yang sekarang, tantangan ini, bagi kami (bisa di atasi dengan) memberikan bagaimana hal-hal positif disampaikan dalam media."

Dari studi yang dilakukan Wahid Institute di tahun 2016, sebanyak 72% mayoritas Muslim di Indonesia tak sepaham dengan paham radikalisme.

Sementara 7,7% responden menyatakan bersedia berpartisipasi, dan 0,4% lainnya mengaku pernah berpartisipasi dalam kegiatan yang berpotensi menimbulkan kekerasan atas nama agama.

Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Hariyono, mengatakan demi mengatasi paparan radikalisme, konsepsi Pancasila sebaiknya dipahami sungguh-sungguh

"Karena di dalam beberapa kasus, menghafal sila pertama sampai kelima saja masih banyak yang tidak paham."

"Bahkan, tes ASN (aparatur sipil negara) 2018 kemarin banyak yang enggak lolos dites wawasan kebangsaan. Itu hampir 80 persen."

"Jangan-jangan kita enggak paham tentang konsepsi diri, makanya orientasi kita kemana juga tidak tahu," tebak Hariyono.

Simpatisan ISIS memberikan ceramah di masjid As-Syuhada di Jakarta tahun 2016. Photo: Simpatisan ISIS memberikan ceramah di masjid As-Syuhada di Jakarta tahun 2016. (ABC)

Termakan propaganda

Nur Dhania (20) adalah mantan simpatisan kelompok teroris ISIS yang pernah bertolak ke Suriah di tahun 2015.

Ia mengungkap pertama kali mendengar soal ISIS dari sang paman, yang kini mendekam di penjara karena dakwaan terorisme.

Kala itu, di tahun 2014, ia menghabiskan liburan dengan memantau media sosial, tempat di mana ia mencari tahu seluk-beluk ISIS dan janji-janji yang mereka dengungkan soal Suriah.

Dalam laporan yang diturunkan tim ABC Maret lalu, Nur Dhania mengaku terpukau propaganda ISIS yang menawarkan perumahan, pendidikan, dan perawatan kesehatan gratis, pekerjaan untuk semua orang yang bergabung dalam perjuangan, dan janji untuk membayar hutang keluarga.

"Saya terpesona. Saya dulu anak manja. Saya tak mendengar orang lain. Saya sombong, keras kepala," tuturnya.

Ia mencoba meyakinkan keluarganya tentang manfaat meninggalkan Indonesia dan pergi ke Suriah. Ia bahkan sempat lari dari rumah ketika mereka menolak untuk bergabung dengannya.

Tragisnya, Nur Dhania berhasil meyakinkan 25 anggota keluarga dan kerabatnya untuk turut serta ke Suriah, termasuk sang nenek, adik perempuannya, orang tua, paman, bibi dan sepupu.

Kini, Nur Dhania beserta 16 orang keluarganya telah kembali ke Indonesia dan menyesali keputusan mereka bergabung ISIS. Keluarga ini berusaha menyambung kembali hidup mereka di tanah air setelah semua harta digadaikan demi membiayai perjalanan ke Suriah.

Penumpang gelap demokrasi

Lalu benarkah radikalisme merupakan ekses dari demokrasi?

Peneliti ekstrimisme-terorisme dari Universitas Paramadina, Suratno, mengatakan radikalisme justru merupakan penumpang gelap demokrasi yang memanfaatkan celah demokrasi seperti kebebasan berekspresi.

Dalam konteks Indonesia, celah ini juga didukung oleh bobroknya birokrasi dan lemahnya penegakkan hukum.

Radikalisme saat ini, sebut Suratno, adalah kelanjutan dari radikalisme era Orde Baru, hanya saja jauh lebih ekstrim.

Ia mencatat beberapa faktor di balik fenomena itu.

Pertama, atmosfer demokratis yang membuat kelompok radikal makin leluasa bergerak, hal yang tak ditemui di rezim represif Soeharto. Keterkaitan kelompok radikal dengan jaringan global terutama di Timur Tengah membuat ideologi, strategi dan metode gerakan mereka meniru jaringan yang lebih ekstrim seperti al-Qaeda, ISIS dan lainnya.

Majunya teknologi informasi turut membuat penyebaran proganda dan perekrutan anggota makin mudah dan cepat.

Akademisi lulusan Goethe Universitat Frankfurt ini menjelaskan, ideologi radikal, secara umum, melihat sesuatu secara hitam dan putih, sebuah logika sederhana yang mudah diterima awam.

"Padahal realitas dunia jauh lebih rumit dan kompleks sehingga tidak bisa direduksi secara hitam putih tadi."

"Dari sini muncul-lah propaganda khilafah adalah solusi dari HTI (Hizbut Tahrir). Apapun problemnya, khilafah solusinya," kata Suratno kepada ABC (28/5/2019).

"Seperti iklan sebuah teh botol," imbuhnya.

Faktor pendukung lain dari menjamurnya radikalisme di Indonesia adalah absennya ormas Islam besar seperti NU dan Muhammadiyah di ruang publik, dalam beberapa hal, meski menurut Suratno hal ini perlahan telah diperbaiki.

"Jarang ditemui ustadz-ustadz NU dan Muhammadiyah tampil di TV atau di YouTube dengan follower banyak. Mungkin ada tapi sedikit."

"Kalah jumlah dibanding ustadz-ustadz seleb."

Jelas ada motif ideologis mengapa seseorang terjerat paham radikal. Keyakinan bahwa hidup ini sementara (fana) dan akherat yang kekal (baqo), menjadi salah satunya.

Suratno menerangkan, teologi NU dan Muhammadiyah lebih condong kepada keseimbangan dunia dan akherat.

"Tapi kelompok radikal umumnya lebih menekankan akherat daripada dunia. Dari sinilah pintu masuk untuk menjejali iming-iming surga, 72 bidadari dan lain-lain melalui jihad teror yangg mereka klaim mati syahid."

Selain itu ada pula motif psikologis di mana dalam banyak kasus, seseorang tertarik pada kelompok radikal, bahkan mau menjadi martir bom bunuh diri, karena merasa putus asa.

"Bisa karena merasa terlalu banyak dosa atau maksiat, bisa karena merasa kurang sukses secara ekonomi, status sosial dan lain-lain."

Keputusasaan membuat iming-iming kesuksesan di akherat karena mati syahid melalui jihad teror berhasil menjadi aksi cuci otak.

" 'Enggak masalah kita gagal di dunia, tapi kita jadi orang berhasil di akherat... dan itu lbh utama'. Kira-kira begitu narasinya," tutur Ketua The Lead Institute Universitas Paramadina ini kepada ABC.

Sumber : https://internasional.republika.co.id/berita/internasional/abc-australia-network/psar01/semua-golongan-masyarakat-di-indonesia-rentan-terpapar-radikalisme