Menyibak Mitos Milenial

Posted Date : 20-01-2019, berita ini telah dikunjungi sebanyak 177 kali.


Gandrung Milenial ini rupanya juga diamini oleh K.H. Ma’ruf Amin. Dalam satu kesempatan bersama Relawan Milenial Jokowi Ma’ruf (Remaja) di bulan November 2018, K.H. Ma’ruf Amin mengatakan: “Andai kata boleh, bisa, hari ini saya ingin jadi remaja kembali. Tapi itu tidak mungkin.”

Mantan Rais Am PBNU tersebut mengakui bahwa menarik simpati milenial amat penting bagi Jokowi – Ma’ruf Amin. Satu fenomena menarik belakangan menjelang Pemilihan Presiden dan Anggota legislatif adalah munculnya visual-visual (yang dipaksakan) para Caleg bergaya anak muda, meski usia mereka sudah jauh dari muda.

Generasi Milenial, sekarang menjadi semacam magnet bagi para Caleg. Pemilu 2019 ini akan ada sekitar 5 juta pemilih pemula dan muda. Jika dipilah, lebih dari 50% pemilih berusia 35 tahun (sekitar 79 juta orang) dari 185 juta pemilih. Sementara jika ditarik sampai 40 tahun, akan ada 100 juta pemilih. Angka ini tentu saja angka yang menggiurkan bagi partai dan politisi yang terjun dalam Pemilu tahun ini. Tak heran jika pemilih generasi Milenial menjadi primadona.

Generasi Milenial sendiri menurut Vision Critical dibatasi dalam rentang kelahiran 1980 sampai 1995. Sementara Gen Z berusia antara 1996 sampai sekarang. Milenial menjadi kajian yang menarik, dari pelaku bisnis hingga politisi. Milenial menurut Richard Sweeney dalam Millenial Behaviours and Demographics (2006) digambarkan memiliki perilaku seperti tidak sabar, punya banyak pilihan sehingga bersifat selektif, multitasking dan menjadi digital natives. Satu hal yang juga dilekatkan pada millennial adalah kurang peduli dengan politik.

Majalah Time bahkan mengangkat satu edisi khusus membahas generasi milenial pada tahun 2013. “Millenials: The Me, Me, Me, Generation.” Begitu judulnya. Joel Stein, dalam artikelnya di edisi tersebut menggambarkan perilaku yang melekat pada generasi milenial: “And these aren’t just rich-kid problems: poor millennials have even higher rates of narcissism, materialism and technology addiction in their ghetto-fabulous lives.”

Politik dan generasi milenial

Terkait percaturan politik saat ini tentu saja lebih relevan membahas generasi milenial (gen Y) ketimbang Gen z, mengingat kategori usia partisipasi mereka dalam Pemilu 2019. Ada sebagian gen Z yang dapat kesempatan memilih, namun lebih banyak gen Y atau milenial saat ini. Itu sebabnya, politisi saat ini begitu menggebu-gebu menggaet simpati milenial terkadang dengan pendekatan yang mendadak milenial, meski terkesan absurd. Berdandan gaya anak muda meski usia nyaris 50. Memakai istilah anak muda seperti “Bro,” atau, “Sis”, meski lidah terkesan kaku.

Beberapa partai bahkan sudah mentahbiskan diri sebagai partai anak muda atau setidaknya Partai kekinian seperti Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang mengklaim membawa politik kaum muda. Atau Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) yang memakai tagar Partai Zaman Now.

Istilah Milenial, Fakta atau Mitos?

Demikian berpengaruhnya daya sihir milenial dengan segala atributnya, membuat politisi berakrobat memikat simpati millenial. Hal-hal yang tak masuk akal pun dilakukan demi mendekati mereka. Namun pertanyaan mendasarnya, benarkah atribut yang dilekatkan pada generasi milenial tersebut? Atau malah itu hanya mitos belaka?

Pertama, istilah-istilah yang dipakai untuk melabeli satu rentang usia tertentu atau generasi tertentu awalnya dipakai untuk kepentingan pemasaran untuk menandai satu segmentasi konsumen tertentu di Amerika Serikat. Istilah generasi ‘Baby Boomers’ misalnya, Dipakai pasca perang Dunia Ke-II. Booming ekonomi menyebabkan meningkatnya angka kelahiran di Amerika Serikat. Sedangkan istilah Generasi X (Gen-X) dipakai oleh musisi Billy Idol untuk nama band-nya di tahun 1970-an. (Samantha Raphelson: 2014)

Jurnalis Douglas Coupland kemudian pada tahun 1991 memakai istilah itu untuk bukunya yang berjudul Generation X: Tales for an Accelerated Culture. Coupland memakai istilah X yang berarti generasinya yang tak mau didefinisikan. Sedangkan istilah generasi Millenial dipakai oleh sejarawan Neil Howe ketika ia menulis buku Generations. (Samantha Raphelson: 2014)

Istilah-istilah ini berawal dari budaya pop Amerika kemudian dipakai untuk kepentingan pemasaran. Istilah-istilah itu condong melekat dan perusahaan serta merek-merek sering mengkategorikan orang agar strategi mereka tepat sasaran.(Anna Kern: 2018)

Perilaku yang sering disematkan pada milenial juga tak luput dari kritik. Pertama, milenial sering disebut individualis atau egois. Tema yang diangkat Time tentang milenial jelas menunjukkan hal itu. Namun hal ini misalnya dibantah oleh Elspeth Reeve dalam artikelnya di The Atlantic. Menurutnya, setiap generasi muda pada masa kapanpun (dalam konteks Amerika Serikat) kenyataannya memang egois.

Reeve bahkan menunjukkan satu fenomena menarik. Dari setiap dekade, selalu saja ada media yang membahas isu betapa egoisnya generasi muda. Sejak tahun 1960-an hingga 2000-an. Generasi muda selalu dituding generasi yang menonjolkan dirinya (Me generation). Intinya memang persoalannya bukan pada generasinya, tetapi memang perkembangan usianya yang membentuk perilaku mereka.

Satu hal lagi yang sering dibahas terkait fenomena perilaku milenial adalah apatisme (ketidakpedulian) mereka terhadap politik. Apatisme pemuda terhadap politik bukan terjadi pada generasi milenial saja. Melainkan dari beberapa generasi lain. Apatisme pemuda terhadap politik bahkan terjadi di berbagai negara di dunia, baik Eropa, Amerika maupun Indonesia

Adeline M. Tumenggung dan Yanuar Nughroho (2005) dalam Marooned In The Junction: Indonesian Youth Participation in Politics menunjukkan betapa sebagian pemuda di Indonesia tidak peduli dengan politik. Hal ini cukup mengherankan, mengingat aksi reformasi yang berujung tumbangnya Soeharto di tahun 1998 justru dipelopori oleh para pemuda. Namun pasca reformasi, pemuda (yang saat ini dilabeli milenial) menjadi tidak peduli dengan politik.

Apatisme pemuda (atau milenial) dengan politik malah direspon oleh politisi dengan cara yang keliru. Mereka berkampanye politik dengan menyamakan pemuda dengan konsumen. Melalui gimmick-gimmick yang tak karuan, misalnya berjaket kulit, naik motor gede, atau bahkan melakukan pencitraan “sok muda” para politisi mencoba memikat generasi milenial.

Politik disamakan dengan pemasaran (marketing). Oleh sebab itu program tak lagi dirasa penting. Yang terpenting adalah personalisasi atau pencitraan dari Si Politisi. Politik yang awalnya menjadi satu aktivitas yang terkait dengan kepentingan publik, dan dipandu nilai-nilai luhur, menjadi sekedar aktivitas pemasaran dan pencitraan belaka. Bernyanyi-nyanyi atau ber-selfie ria dan nge-vlog dianggap jurus ampuh mengusir apatisme pemuda.

Padahal sikap apatisme pemuda terhadap politik menurut Adeline M. Tumenggung dan Yanuar Nughrono (2005) dibentuk beberapa faktor, antara lain; Pertama, kontribusi politik seringkali tak diakomodir. Budaya politik di Indonesia masih paternalistik dan memiliki pola patron-klien. Budaya politk Indonesia juga menganggap anak muda sebagai “tak berpengalaman”, “naif” dan tidak realistis. Hal ini dapat disebut sebagai hambatan institusional.

Kedua, globalisasi memainkan peran penting. Konsumerisme dan ekonomi neoliberal telah mengubah cara berpikir orang. Kenikmatan- Prestise-Status-Kemewahan menjadi prinsip penting di masyarakat. Hal ini juga disebutkan oleh Jorina Velasco dalam Pendahuluan dari Youth and Politics in Southeast Asia (2005) yang menyebutkan bahwa globalisasi dan kapitalisme memiliki pengaruh mendalam pada generasi muda. Anak muda disebut lebih menyukai jalan-jalan ke mall daripada berdemonstrasi.

Satu ikhtiar untuk membalikkan keadaan ini dapat dimulai dengan mengubah persepsi kita tentang politik terlebih dahulu. Politik dalam Islam bukanlah sesuatu yang kotor atau harus dijauhi. Sebaliknya politik justru menjadi ikhtiar luhur untuk menegakkan masyarakat yang Islami.

Pendidikan politik terhadap generasi muda dapat dimulai dengan menanamkan pada generasi muda bahwa Islam adalah pandangan hidup dan bukan sekedar spiritualitas belaka. Dari penanaman sejak dini, generasi muda akan memahami bahwa politik aspek yang disentuh oleh Islam.

Tak dapat dipungkiri, rezim orde baru telah menghancurkan Pendidikan politik di masyarakat. Lewat kebijakan massa mengambang (floating mass) rezim orde baru memutus masyarakat akar rumput dari ideologisasi politik. Penerapan azas tunggal menjadi lonceng kematian politik ideologis. Ironisnya, pasca orde baru, politik Indonesia tetap menjauh dari ideologi dan merapat pada politik yang berorientasi pasar.

Politik dimaknai sebatas politik elektoral belaka sebagai kompetisi menjaring suara. Oleh sebab itu partai-partai politik menjadi sangat pragmatis. Kaderisasi ditinggalkan. Artis atau selebriti dianggap sebagai magnet bagi pemilih (vote getter). Maka tak heran jika sebagian politisi berbalik dan menganggap partai sebagai kendaraan belaka. Politik menjadi bernuansa transaksional dan pragmatis.

Pemahaman politik yang kacau balau ini harus dihentikan dan dikembalikan kembali menjadi politik yang dipandu oleh ideologi atau pandangan hidup. Bukan lagi dibawah kuasa pragmatisme.

Hal ini dapat dimulai dari generasi muda. Pendidikan politik yang bertahap namun mengakar menjadi jalan keluar dari apatisme terhadap politik. Politik Islam kembali dikenalkan sebagai jangkar dalam berpolitik. Apatisme bukanlah satu sifat yang melekat pada generasi muda. Melainkan terbentuk oleh pemahaman yang keliru tentang politik dan kondisi yang tidak mendukung.

Melek politk menjadi satu atribut yang dilekatkan pada generasi muda. Sehingga salah kaprah dan mitos milenial yang keliru dapat disingkirkan. Bukankah generasi para pendiri bangsa merupakan para pemuda? Mereka adalah para muda yang peduli dengan masyarakat di sekitarnya dan sejak dini berdiri di atas ideologi. Bukan pragmatisme belaka. Itu pula yang harus digaungkan saat ini. Sehingga tak ada lagi politisi berlagak “milenial” meski usia sudah tak lagi muda.



Sumber : https://www.kiblat.net/2019/01/19/menyibak-mitos-milenial/