Israel Terus Usir Warga Palestina, Rampas Rumah Mereka untuk Pemukim
Posted Date : 20-01-2019, berita ini telah dikunjungi sebanyak 209 kali.
Israel terus mengusir warga Palestina untuk merampas rumah mereka dan memberikannya kepada para pemukim Israel. Pihak berwenang salah satunya mengeluarkan perintah penggusuran kepada keluarga Sabbagh yang terdiri dari 45 orang, sehingga pemukim Israel dapat pindah ke rumah mereka. Hal ini melanggar hukum internasional, di mana di bawah Konvensi Jenewa Keempat, negara yang melakukan pendudukan dilarang memindahkan sebagian penduduk sipilnya ke wilayah yang didudukinya.
Oleh: Zena Tahhan (Al Jazeera)
Baca Juga: Anak-anak Palestina yang Dibunuh Israel Selama 2018 Dilupakan Dunia
Berkerumun di sekitar pemanas listrik pada hari musim dingin yang menggigil, empat wanita Palestina duduk dengan gelisah, menelepon kenalan-kenalan mereka, menanyakan apakah ada rumah untuk disewa di kota.
“Kami tidak bisa membiarkannya sampai menit terakhir. Kami harus mencari tahu—orang Israel dapat datang kapan saja untuk mengusir kami dari rumah kami,” kata Ramziyeh Sabbagh yang berusia 31 tahun.
Dia akan melahirkan bayi perempuan dalam lima hari.
“Suami saya menyangkal kami mungkin akan diusir,” kata Khadija Sabbagh, bibi Ramziyeh. “Saya tidak tahu apa yang akan kami lakukan. Kami hanya memiliki Tuhan pada saat ini.”
Umm Alaa Skafi—yang tinggal di sebelah rumah dan keluarganya juga menghadapi risiko penggusuran—datang untuk memeriksa keadaan tetangganya yang tersayang.
“Teruslah berdoa. Jangan biarkan pikiranmu berkeliaran. Buatlah dirimu sibuk. Aku di sini untukmu. Aku akan membuat hidangan dan membawakannya untukmu dan keluargamu,” Umm Alaa menghibur Khadijah.
Pada 12 Januari 2019 lalu, otoritas Israel menyerahkan perintah penggusuran kepada keluarga Sabbagh—yang berjumlah sekitar 45 orang—sehingga pemukim Israel dapat pindah ke rumah mereka.
Lima saudara laki-laki Sabbagh, istri, anak-anak, dan cucu mereka diberikan waktu sampai 23 Januari 2019 untuk meninggalkan rumah mereka.
Pada Selasa (15/1), pengacara yang mewakili keluarga tersebut mengatakan bahwa pemerintah Israel setuju untuk membekukan penggusuran sampai keputusan akhir dicapai dalam sebulan. Para keluarga telah tinggal di sana sejak tahun 1956.
Mereka secara paksa dipindahkan dari kampung halaman mereka di Jaffa selama Nakba Palestina tahun 1948—pembersihan etnis Palestina oleh milisi Zionis untuk menciptakan negara Israel. Setelah memiliki saudara di lingkungan terdekat Wadi al-Joz, mereka menetap di Yerusalem.
Bersama dengan UNRWA—badan bantuan PBB untuk para pengungsi Palestina—Yordania, yang mengambil kendali atas Tepi Barat dan menduduki Yerusalem Timur, menyediakan apartemen untuk 28 keluarga pengungsi Palestina, termasuk keluarga Sabbagh, di lingkungan Sheikh Jarrah.
PERTEMPURAN HUKUM UNTUK MENGUSIR WARGA PALESTINA
Tidak lama setelah Perang 1967—di mana Israel menduduki Yerusalem Timur—kelompok-kelompok pemukim mulai mengklaim kepemilikan sejumlah properti. Pada tahun 2003, kelompok-kelompok itu—yang mengklaim telah mendaftarkan tanah atas nama mereka pada tahun 1972—menjual properti itu kepada Nahalat Shimon, sebuah perusahaan pemukim yang terdaftar di luar negeri.
Nahalat Shimon kemudian melancarkan pertempuran hukum yang panjang untuk mengusir beberapa keluarga Palestina di Sheikh Jarrah. Pada tahun 2009, perusahaan tersebut melakukan pengusiran warga Palestina yang berjumlah tiga keluarga. Pada tahun 2017, keluarga lain disuruh pergi.
Pada November 2018, setelah lebih dari satu dekade proses hukum, Mahkamah Agung Israel menolak banding yang dibuat oleh pengacara yang mewakili keluarga Sabbagh, di mana mereka berusaha untuk menantang kepemilikan kelompok pemukim atas tanah tersebut.
Mahkamah Agung menguatkan putusan pengadilan tingkat rendah yang menolak untuk membuka pertanyaan tentang siapa yang memiliki tanah itu atau untuk memeriksa dokumen yang diajukan oleh keluarga dan pengacara mereka, berdasarkan undang-undang pembatasan yang telah berakhir.
“Kami sudah di sini selama 62 tahun. Bahkan jika kami bukan pemilik tanah, atau bangunan, bagaimana ada undang-undang yang memungkinkan penggusuran orang setelah 62 tahun?” kata Mohammad Sabbagh (70 tahun), saudara laki-laki tertua yang melarikan diri bersama orang tuanya ke Yerusalem sebelum saudara kandungnya lahir.
“Kami memiliki satu apartemen pada tahun 1956. Seiring anggota keluarga bertambah banyak, kami membangun rumah di sebelah untuk saudara-saudara saya dan keluarga mereka. Setiap batu, ubin, dan dinding di rumah-rumah ini menceritakan fakta bahwa kami telah berada di sini selama 62 tahun,” dia mengatakan kepada Al Jazeera.
“Situasi yang membuat kami patah hati. Sangat, sangat sulit,” katanya, suaranya bergetar.
Rumah keluarga Sabbagh di Jaffa masih berdiri. Tetapi di bawah hukum Israel yang diskriminatif, orang-orang Palestina—tidak seperti orang Yahudi—tidak dapat mengklaim rumah yang mereka tinggalkan selama tahun 1948, yang berarti mereka dilarang pulang kembali.
‘HANYA ADA SEDIKIT HARAPAN’
Zakaria Odeh, Direktur Koalisi Masyarakat untuk Hak-hak Palestina di Yerusalem—asosiasi yang menyediakan para pengacara—menjelaskan bahwa hanya ada sedikit harapan bagi para keluarga tersebut.
“Pengadilan menolak untuk memeriksa berkas-berkas itu. Kami tahu bahwa kami berada di bawah pendudukan Israel, berurusan dengan pengadilan pendudukan, tetapi kami berusaha untuk menunda penggusuran sebanyak mungkin,” kata Odeh kepada Al Jazeera.
“Suasana politik umum telah mendorong pemerintah Israel dan kelompok-kelompok pemukim untuk mengintensifkan upaya mereka—terutama dengan dukungan tanpa batas dari pemerintah Amerika Serikat di bawah Trump,” lanjutnya.
Walau upaya penggusuran keluarga Sabbagh adalah yang paling baru, namun terdapat setidaknya sembilan keluarga lain dari Sheikh Jarrah yang proses hukumnya sedang berlangsung.
Dan kasus Sheikh Jarrah tidaklah unik. Kelompok pemukim Israel, yang banyak di antaranya didukung oleh pemerintah, telah lama menargetkan—dan berhasil pindah ke—sejumlah lingkungan Palestina di Yerusalem Timur.
Di Silwan, sebelah selatan Kota Tua, sekitar 700 warga Palestina saat ini menghadapi penggusuran dan pemindahan.
Sejak pendudukan Israel atas wilayah Palestina pada tahun 1967, populasi Israel yang tinggal di Yerusalem Timur dan Tepi Barat telah meningkat menjadi antara 600 ribu hingga 750 ribu. Angka itu berarti sekitar 11 persen dari 6,6 juta populasi Israel sekarang tinggal di tanah yang diduduki, di luar perbatasan negara mereka yang diakui secara internasional, bertentangan dengan hukum internasional.
MENGABAIKAN HUKUM INTERNASIONAL
Di bawah Konvensi Jenewa Keempat, yang mendefinisikan perlindungan kemanusiaan bagi warga sipil yang terperangkap dalam zona perang, negara yang melakukan pendudukan dilarang memindahkan sebagian penduduk sipilnya ke wilayah yang didudukinya.
Ini bertujuan untuk memastikan bahwa pendudukan bersifat sementara, untuk melindungi warga sipil dari pencurian sumber daya, untuk melarang situasi de facto di mana dua kelompok yang tinggal di tanah yang sama tunduk pada dua sistem hukum yang berbeda, dan untuk mencegah perubahan dalam susunan demografis masyarakat di wilayah yang diduduki.
Ramziyeh Sabbagh, yang sedang hamil sembilan bulan, tinggal bersama ibunya yang sakit, saudara lelakinya, dan dua anaknya di rumah mereka di Sheikh Jarrah. (Foto: Al Jazeera/Zena Tahhan)
Kembali di Sheikh Jarrah, keluarga Sabbagh panik dengan kekhawatiran dan ketakutan.
“Saya menyaksikan mereka mengusir tetangga kami,” kata Khadija yang berusia 55 tahun, istri saudara laki-laki Mohammad. “Itu mengerikan. Mereka menyerbu rumah mereka saat mereka tidur dan mengusir mereka.”
“Saya lebih suka mati daripada memiliki kehidupan seperti ini; siksaan lambat yang menggerogoti sarafmu,” Khadija melanjutkan dengan air mata mengalir di pipinya.
“Jika mereka akan mengusir kami dari sini, maka biarkan mereka mengembalikan rumah kami di Jaffa. Kami masih memiliki kunci rumah kami di Jaffa. Saya tahu kami akan kembali suatu hari nanti.”
Anak perempuan Khadija yang berusia 15 tahun terkekeh mendengar pernyataan ibunya.
“Teruslah bermimpi,” katanya.
Keterangan foto utama: Di bawah hukum internasional, negara yang melakukan pendudukan dilarang memindahkan sebagian penduduk sipilnya ke wilayah yang didudukinya. (Foto: Al Jazeera/Zena Tahhan)
Sumber : https://www.matamatapolitik.com/in-depth-israel-terus-usir-warga-palestina-rampas-rumah-mereka-untuk-pemukim/
Oleh: Zena Tahhan (Al Jazeera)
Baca Juga: Anak-anak Palestina yang Dibunuh Israel Selama 2018 Dilupakan Dunia
Berkerumun di sekitar pemanas listrik pada hari musim dingin yang menggigil, empat wanita Palestina duduk dengan gelisah, menelepon kenalan-kenalan mereka, menanyakan apakah ada rumah untuk disewa di kota.
“Kami tidak bisa membiarkannya sampai menit terakhir. Kami harus mencari tahu—orang Israel dapat datang kapan saja untuk mengusir kami dari rumah kami,” kata Ramziyeh Sabbagh yang berusia 31 tahun.
Dia akan melahirkan bayi perempuan dalam lima hari.
“Suami saya menyangkal kami mungkin akan diusir,” kata Khadija Sabbagh, bibi Ramziyeh. “Saya tidak tahu apa yang akan kami lakukan. Kami hanya memiliki Tuhan pada saat ini.”
Umm Alaa Skafi—yang tinggal di sebelah rumah dan keluarganya juga menghadapi risiko penggusuran—datang untuk memeriksa keadaan tetangganya yang tersayang.
“Teruslah berdoa. Jangan biarkan pikiranmu berkeliaran. Buatlah dirimu sibuk. Aku di sini untukmu. Aku akan membuat hidangan dan membawakannya untukmu dan keluargamu,” Umm Alaa menghibur Khadijah.
Pada 12 Januari 2019 lalu, otoritas Israel menyerahkan perintah penggusuran kepada keluarga Sabbagh—yang berjumlah sekitar 45 orang—sehingga pemukim Israel dapat pindah ke rumah mereka.
Lima saudara laki-laki Sabbagh, istri, anak-anak, dan cucu mereka diberikan waktu sampai 23 Januari 2019 untuk meninggalkan rumah mereka.
Pada Selasa (15/1), pengacara yang mewakili keluarga tersebut mengatakan bahwa pemerintah Israel setuju untuk membekukan penggusuran sampai keputusan akhir dicapai dalam sebulan. Para keluarga telah tinggal di sana sejak tahun 1956.
Mereka secara paksa dipindahkan dari kampung halaman mereka di Jaffa selama Nakba Palestina tahun 1948—pembersihan etnis Palestina oleh milisi Zionis untuk menciptakan negara Israel. Setelah memiliki saudara di lingkungan terdekat Wadi al-Joz, mereka menetap di Yerusalem.
Bersama dengan UNRWA—badan bantuan PBB untuk para pengungsi Palestina—Yordania, yang mengambil kendali atas Tepi Barat dan menduduki Yerusalem Timur, menyediakan apartemen untuk 28 keluarga pengungsi Palestina, termasuk keluarga Sabbagh, di lingkungan Sheikh Jarrah.
PERTEMPURAN HUKUM UNTUK MENGUSIR WARGA PALESTINA
Tidak lama setelah Perang 1967—di mana Israel menduduki Yerusalem Timur—kelompok-kelompok pemukim mulai mengklaim kepemilikan sejumlah properti. Pada tahun 2003, kelompok-kelompok itu—yang mengklaim telah mendaftarkan tanah atas nama mereka pada tahun 1972—menjual properti itu kepada Nahalat Shimon, sebuah perusahaan pemukim yang terdaftar di luar negeri.
Nahalat Shimon kemudian melancarkan pertempuran hukum yang panjang untuk mengusir beberapa keluarga Palestina di Sheikh Jarrah. Pada tahun 2009, perusahaan tersebut melakukan pengusiran warga Palestina yang berjumlah tiga keluarga. Pada tahun 2017, keluarga lain disuruh pergi.
Pada November 2018, setelah lebih dari satu dekade proses hukum, Mahkamah Agung Israel menolak banding yang dibuat oleh pengacara yang mewakili keluarga Sabbagh, di mana mereka berusaha untuk menantang kepemilikan kelompok pemukim atas tanah tersebut.
Mahkamah Agung menguatkan putusan pengadilan tingkat rendah yang menolak untuk membuka pertanyaan tentang siapa yang memiliki tanah itu atau untuk memeriksa dokumen yang diajukan oleh keluarga dan pengacara mereka, berdasarkan undang-undang pembatasan yang telah berakhir.
“Kami sudah di sini selama 62 tahun. Bahkan jika kami bukan pemilik tanah, atau bangunan, bagaimana ada undang-undang yang memungkinkan penggusuran orang setelah 62 tahun?” kata Mohammad Sabbagh (70 tahun), saudara laki-laki tertua yang melarikan diri bersama orang tuanya ke Yerusalem sebelum saudara kandungnya lahir.
“Kami memiliki satu apartemen pada tahun 1956. Seiring anggota keluarga bertambah banyak, kami membangun rumah di sebelah untuk saudara-saudara saya dan keluarga mereka. Setiap batu, ubin, dan dinding di rumah-rumah ini menceritakan fakta bahwa kami telah berada di sini selama 62 tahun,” dia mengatakan kepada Al Jazeera.
“Situasi yang membuat kami patah hati. Sangat, sangat sulit,” katanya, suaranya bergetar.
Rumah keluarga Sabbagh di Jaffa masih berdiri. Tetapi di bawah hukum Israel yang diskriminatif, orang-orang Palestina—tidak seperti orang Yahudi—tidak dapat mengklaim rumah yang mereka tinggalkan selama tahun 1948, yang berarti mereka dilarang pulang kembali.
‘HANYA ADA SEDIKIT HARAPAN’
Zakaria Odeh, Direktur Koalisi Masyarakat untuk Hak-hak Palestina di Yerusalem—asosiasi yang menyediakan para pengacara—menjelaskan bahwa hanya ada sedikit harapan bagi para keluarga tersebut.
“Pengadilan menolak untuk memeriksa berkas-berkas itu. Kami tahu bahwa kami berada di bawah pendudukan Israel, berurusan dengan pengadilan pendudukan, tetapi kami berusaha untuk menunda penggusuran sebanyak mungkin,” kata Odeh kepada Al Jazeera.
“Suasana politik umum telah mendorong pemerintah Israel dan kelompok-kelompok pemukim untuk mengintensifkan upaya mereka—terutama dengan dukungan tanpa batas dari pemerintah Amerika Serikat di bawah Trump,” lanjutnya.
Walau upaya penggusuran keluarga Sabbagh adalah yang paling baru, namun terdapat setidaknya sembilan keluarga lain dari Sheikh Jarrah yang proses hukumnya sedang berlangsung.
Dan kasus Sheikh Jarrah tidaklah unik. Kelompok pemukim Israel, yang banyak di antaranya didukung oleh pemerintah, telah lama menargetkan—dan berhasil pindah ke—sejumlah lingkungan Palestina di Yerusalem Timur.
Di Silwan, sebelah selatan Kota Tua, sekitar 700 warga Palestina saat ini menghadapi penggusuran dan pemindahan.
Sejak pendudukan Israel atas wilayah Palestina pada tahun 1967, populasi Israel yang tinggal di Yerusalem Timur dan Tepi Barat telah meningkat menjadi antara 600 ribu hingga 750 ribu. Angka itu berarti sekitar 11 persen dari 6,6 juta populasi Israel sekarang tinggal di tanah yang diduduki, di luar perbatasan negara mereka yang diakui secara internasional, bertentangan dengan hukum internasional.
MENGABAIKAN HUKUM INTERNASIONAL
Di bawah Konvensi Jenewa Keempat, yang mendefinisikan perlindungan kemanusiaan bagi warga sipil yang terperangkap dalam zona perang, negara yang melakukan pendudukan dilarang memindahkan sebagian penduduk sipilnya ke wilayah yang didudukinya.
Ini bertujuan untuk memastikan bahwa pendudukan bersifat sementara, untuk melindungi warga sipil dari pencurian sumber daya, untuk melarang situasi de facto di mana dua kelompok yang tinggal di tanah yang sama tunduk pada dua sistem hukum yang berbeda, dan untuk mencegah perubahan dalam susunan demografis masyarakat di wilayah yang diduduki.
Ramziyeh Sabbagh, yang sedang hamil sembilan bulan, tinggal bersama ibunya yang sakit, saudara lelakinya, dan dua anaknya di rumah mereka di Sheikh Jarrah. (Foto: Al Jazeera/Zena Tahhan)
Kembali di Sheikh Jarrah, keluarga Sabbagh panik dengan kekhawatiran dan ketakutan.
“Saya menyaksikan mereka mengusir tetangga kami,” kata Khadija yang berusia 55 tahun, istri saudara laki-laki Mohammad. “Itu mengerikan. Mereka menyerbu rumah mereka saat mereka tidur dan mengusir mereka.”
“Saya lebih suka mati daripada memiliki kehidupan seperti ini; siksaan lambat yang menggerogoti sarafmu,” Khadija melanjutkan dengan air mata mengalir di pipinya.
“Jika mereka akan mengusir kami dari sini, maka biarkan mereka mengembalikan rumah kami di Jaffa. Kami masih memiliki kunci rumah kami di Jaffa. Saya tahu kami akan kembali suatu hari nanti.”
Anak perempuan Khadija yang berusia 15 tahun terkekeh mendengar pernyataan ibunya.
“Teruslah bermimpi,” katanya.
Keterangan foto utama: Di bawah hukum internasional, negara yang melakukan pendudukan dilarang memindahkan sebagian penduduk sipilnya ke wilayah yang didudukinya. (Foto: Al Jazeera/Zena Tahhan)
Sumber : https://www.matamatapolitik.com/in-depth-israel-terus-usir-warga-palestina-rampas-rumah-mereka-untuk-pemukim/
Mahasiswa Indonesia Protes Aksi Militer di Papua
Ustaz Abu Bakar Baasyir Bebas, Ini Penjelasan TPM
Milad ke-5 FTPI: Santunan Anak Yatim Hingga Potong Tumpeng
Riset: Angka Jomlo Naik, Menikah jadi Resolusi Tertinggi Warganet Indonesia
Sejarawan Israel Ramalkan Masa Depan Suram Pendirian Negara Israel
Tak Bayar Denda E-Tilang, 800 Kendaraan Diblokir
WHO: 24,4 Juta warga Yaman Butuh Bantuan Kemanusiaan
Minta Santri Melek Usaha, Sandiaga: Saatnya Indonesia Jihad di Bidang Ekonomi
Iman-Taqwa Kunci Utama Keberkahan Suatu Negeri
1300 Muslim Etnis Rohingya Melarikan Diri dari India
Ustaz Abu Bakar Baasyir Bebas, Ini Penjelasan TPM
Milad ke-5 FTPI: Santunan Anak Yatim Hingga Potong Tumpeng
Riset: Angka Jomlo Naik, Menikah jadi Resolusi Tertinggi Warganet Indonesia
Sejarawan Israel Ramalkan Masa Depan Suram Pendirian Negara Israel
Tak Bayar Denda E-Tilang, 800 Kendaraan Diblokir
WHO: 24,4 Juta warga Yaman Butuh Bantuan Kemanusiaan
Minta Santri Melek Usaha, Sandiaga: Saatnya Indonesia Jihad di Bidang Ekonomi
Iman-Taqwa Kunci Utama Keberkahan Suatu Negeri
1300 Muslim Etnis Rohingya Melarikan Diri dari India
Senjata Konvensional Rusia Lebih Mematikan daripada Nuklirnya
Facebook Terapkan Aturan Ketat di Beberapa Negara Jelang Pemilu 2019
Muslim Uighur Donasikan 5 Kapal untuk Nelayan Korban Tsunami di Lampung
Malaysia Tegas Larang Semua Orang Israel Masuki Negaranya
Menyibak Mitos Milenial
PBB Intensif Pantau Perkembangan Idlib Pasca Perluasan Kontrol HTS
Terungkap! Ini Penjelasan Ilmiah di Balik Debat 'Ayam & Telur Duluan Mana?'
Apa yang Dimakan Orang Eskimo Agar Tetap Hangat?
Nasib Tragis Suami yang Buang `Bantal Busuk` Istri, Babak-belur Gigi Rompol
Pemakaman Mewah Anjing Kesayangan Majikan, Kuras Rp77 Juta
Facebook Terapkan Aturan Ketat di Beberapa Negara Jelang Pemilu 2019
Muslim Uighur Donasikan 5 Kapal untuk Nelayan Korban Tsunami di Lampung
Malaysia Tegas Larang Semua Orang Israel Masuki Negaranya
Menyibak Mitos Milenial
PBB Intensif Pantau Perkembangan Idlib Pasca Perluasan Kontrol HTS
Terungkap! Ini Penjelasan Ilmiah di Balik Debat 'Ayam & Telur Duluan Mana?'
Apa yang Dimakan Orang Eskimo Agar Tetap Hangat?
Nasib Tragis Suami yang Buang `Bantal Busuk` Istri, Babak-belur Gigi Rompol
Pemakaman Mewah Anjing Kesayangan Majikan, Kuras Rp77 Juta