Berbagai Kalangan Menolak Larangan Pemakaian Jilbab di Austria
Posted Date : 17-05-2019, berita ini telah dikunjungi sebanyak 365 kali.
Hidayatullah.com– Warga dan berbagai kalangan menentang larangan pemakaian penutup kepala berdasarkan agama di sekolah dasar Austria. Penolakan termasuk oleh banyak organisasi non-pemerintah, wartawan, politikus dan pegiat di Austria.
Salah seorang anggota Parlemen Austria dari kubu independen Martha Bissman, mengatakan, agitasi terhadap orang Muslim “bukan lagi fenomena marginal” dan “telah bergeser ke pusat politik dengan pemerintah saat ini”.
“Peraturan tersebut bukan hanya memberi sumbangan bagi bertambah-kuatnya Islamfobia, tapi juga menjadi pendorong gagasan bahwa orang Muslim adalah bahaya buat masyarakat,” ujarnya dalam wawancara dengan Anadolu Agency kutip Antara di Jakarta, semalam (16/05/2019).
Pemerintah kanan-jauh Austria mengajukan rancangan peraturan yang melarang jilbab, akhir tahun 2018, lalu ke Parlemen. Pemerintahan yang dipimpin oleh Kanselir Sebastian Kurz, pemimpin termuda di Eropa ini berencana menerapkannya tanpa dukungan oposisi.
Dalam peraturan itu, pemakaian jilbab dilarang buat anak perempuan yang berumur di bawah 10 tahun di semua SD, termasuk sekolah swasta di segenap penjuru negeri tersebut.
Bissman menyatakan hampir semua wakil Muslim selama wawancara mengatakan mereka menentang pemaksaan anak perempuan untuk memakai penutup kepala.
“Pelarangan penutup kepala sebagai kampanye politik tak lebih dari hasil histeria yang ditetapkan berlandaskan politik buat kelompok minoritas,” ujarnya.
Bissman menekankan, peraturan itu melanggar prinsip dasar Undang-Undang Dasar dan Perjanjian Negara Austria 1955. “Undang-Undang Dasar mencakup pelaksanaan ibadah agama dan pemakaian lambang dan pakaian agama, serta kebebasan beragama,” ungkapnya.
“Hanya Ditujukan ke Anak Muslim”
Peraturan tersebut hanya ditujukan kepada anak-anak Muslim, kata tokoh masyarakat setempat. Ia juga mengatakan, larangan tersebut bertentangan dengan prinsip kesetaraan dan kebebasan beragama dan oleh karena itu tidak konstitusional seperti salib agama Kristen saat ini terdapat di setiap sekolah di negeri itu dan anak-anak Yahudi diperkenankan memakai kippa, penutup kepala agama.
Lembaga Agama Islam Austria (IGGIO) mengatakan bahwa larangan terhadap jilbab itu bertentangan dengan kebebasan beragama. “Kami ingin peraturan ini dikaji berdasarkan Undang-Undang Dasar,” ungkapnya lewat satu pernyataan.
Wilhelm Lagthaler, salah seorang penulis dan aktivis mengatakan bahwa ia juga menentang larangan pemakaian jilbab. “Pemerintah kanan-jauh membatasi hak dasar dengan melarang jilbab,” ungkapnya.
Lagthaler menggarisbawahi bahwa sasaran utama larangan tersebut ialah menjadikan orang Muslim sebagai penjahat di masyarakat.
Kata dia, pemerintah kanan-jauh mengancam akan memperluas lingkup larangan jilbab pada setiap kegiatan dan peraturan tersebut menimbulkan risiko besar bagi pembatasan lebih jauh terhadap kebebasan orang Muslim.
Terdapat sebanyak 700.000 Muslim di Austria, termasuk 300.000 keturunan Turki. Di antara mereka banyak warga negara Austria generasi kedua dan ketiga dari keluarga Turki yang bermigrasi ke negeri tersebut di tahun 1960-an.
Pada Oktober 2017, Austria memberlakukan larangan pemakaian penutup muka, yang mencegah orang menyembunyikan wajah mereka di semua tempat umum, termasuk instalasi pembuatan paspor.
Di tengah kekhawatiran luas akibat krisis pengungsi dan terorisme internasional, partai sayap-kanan Austria mengusulkan beberapa langkah kontroversial termasuk pemantauan ketat atas masjid dan perhimpunan Muslim dan penutupan segera semua lembaga itu dalam kasus adanya kegiatan yang mencurigakan.*
Rep: Ahmad
Sumber : https://www.hidayatullah.com/berita/internasional/read/2019/05/17/164973/berbagai-kalangan-menolak-larangan-pemakaian-jilbab-di-austria.html
Salah seorang anggota Parlemen Austria dari kubu independen Martha Bissman, mengatakan, agitasi terhadap orang Muslim “bukan lagi fenomena marginal” dan “telah bergeser ke pusat politik dengan pemerintah saat ini”.
“Peraturan tersebut bukan hanya memberi sumbangan bagi bertambah-kuatnya Islamfobia, tapi juga menjadi pendorong gagasan bahwa orang Muslim adalah bahaya buat masyarakat,” ujarnya dalam wawancara dengan Anadolu Agency kutip Antara di Jakarta, semalam (16/05/2019).
Pemerintah kanan-jauh Austria mengajukan rancangan peraturan yang melarang jilbab, akhir tahun 2018, lalu ke Parlemen. Pemerintahan yang dipimpin oleh Kanselir Sebastian Kurz, pemimpin termuda di Eropa ini berencana menerapkannya tanpa dukungan oposisi.
Dalam peraturan itu, pemakaian jilbab dilarang buat anak perempuan yang berumur di bawah 10 tahun di semua SD, termasuk sekolah swasta di segenap penjuru negeri tersebut.
Bissman menyatakan hampir semua wakil Muslim selama wawancara mengatakan mereka menentang pemaksaan anak perempuan untuk memakai penutup kepala.
“Pelarangan penutup kepala sebagai kampanye politik tak lebih dari hasil histeria yang ditetapkan berlandaskan politik buat kelompok minoritas,” ujarnya.
Bissman menekankan, peraturan itu melanggar prinsip dasar Undang-Undang Dasar dan Perjanjian Negara Austria 1955. “Undang-Undang Dasar mencakup pelaksanaan ibadah agama dan pemakaian lambang dan pakaian agama, serta kebebasan beragama,” ungkapnya.
“Hanya Ditujukan ke Anak Muslim”
Peraturan tersebut hanya ditujukan kepada anak-anak Muslim, kata tokoh masyarakat setempat. Ia juga mengatakan, larangan tersebut bertentangan dengan prinsip kesetaraan dan kebebasan beragama dan oleh karena itu tidak konstitusional seperti salib agama Kristen saat ini terdapat di setiap sekolah di negeri itu dan anak-anak Yahudi diperkenankan memakai kippa, penutup kepala agama.
Lembaga Agama Islam Austria (IGGIO) mengatakan bahwa larangan terhadap jilbab itu bertentangan dengan kebebasan beragama. “Kami ingin peraturan ini dikaji berdasarkan Undang-Undang Dasar,” ungkapnya lewat satu pernyataan.
Wilhelm Lagthaler, salah seorang penulis dan aktivis mengatakan bahwa ia juga menentang larangan pemakaian jilbab. “Pemerintah kanan-jauh membatasi hak dasar dengan melarang jilbab,” ungkapnya.
Lagthaler menggarisbawahi bahwa sasaran utama larangan tersebut ialah menjadikan orang Muslim sebagai penjahat di masyarakat.
Kata dia, pemerintah kanan-jauh mengancam akan memperluas lingkup larangan jilbab pada setiap kegiatan dan peraturan tersebut menimbulkan risiko besar bagi pembatasan lebih jauh terhadap kebebasan orang Muslim.
Terdapat sebanyak 700.000 Muslim di Austria, termasuk 300.000 keturunan Turki. Di antara mereka banyak warga negara Austria generasi kedua dan ketiga dari keluarga Turki yang bermigrasi ke negeri tersebut di tahun 1960-an.
Pada Oktober 2017, Austria memberlakukan larangan pemakaian penutup muka, yang mencegah orang menyembunyikan wajah mereka di semua tempat umum, termasuk instalasi pembuatan paspor.
Di tengah kekhawatiran luas akibat krisis pengungsi dan terorisme internasional, partai sayap-kanan Austria mengusulkan beberapa langkah kontroversial termasuk pemantauan ketat atas masjid dan perhimpunan Muslim dan penutupan segera semua lembaga itu dalam kasus adanya kegiatan yang mencurigakan.*
Rep: Ahmad
Sumber : https://www.hidayatullah.com/berita/internasional/read/2019/05/17/164973/berbagai-kalangan-menolak-larangan-pemakaian-jilbab-di-austria.html
400 Orang Pakistan Positif HIV karena Jarum Suntik Terkontaminasi
Facebook Perketat Aturan Live Streaming Pasca Teror Selandia Baru
Buka Puasa Bareng Kolonel di Kapal Perang “Siluman” TNI AL
Dua Pendaki India Tewas Saat Turun dari Gunung Himalaya
Gedung Runtuh di Shanghai, Sembilan Orang Terjebak
Cina Resmi Tahan Dua Orang Warga Kanada
Terduga Teroris WNI di Malaysia dalam Keadaan Sehat
Iran Menahan Diri Meski AS Mundur dari Kesepakatan Nuklir
Huawei Masuk Daftar Hitam di AS
Mengapa Handuk di Hotel Bintang Lima Belum Tentu Higienis?
Facebook Perketat Aturan Live Streaming Pasca Teror Selandia Baru
Buka Puasa Bareng Kolonel di Kapal Perang “Siluman” TNI AL
Dua Pendaki India Tewas Saat Turun dari Gunung Himalaya
Gedung Runtuh di Shanghai, Sembilan Orang Terjebak
Cina Resmi Tahan Dua Orang Warga Kanada
Terduga Teroris WNI di Malaysia dalam Keadaan Sehat
Iran Menahan Diri Meski AS Mundur dari Kesepakatan Nuklir
Huawei Masuk Daftar Hitam di AS
Mengapa Handuk di Hotel Bintang Lima Belum Tentu Higienis?
Jamaah Umrah akan Dipakaikan Gelang Khusus Ber-GPS di Saudi
Dokter Nutrisi Imbau Orangtua Ajarkan Anak Puasa Secara Bertahap
Otoritas Zionis Israel Kembali Kurangi Zona Penangkapan Ikan di Lepas Pantai Gaza
Pesawat Koalisi Saudi Serang Wilayah yang Dikuasai Pemberontak Syi'ah Houtsi di Sana'a
Anggota Parlemen Austria Setujui Larangan Jilbab di Sekolah Dasar
Polisi Sri Lanka Tangkap 23 Tersangka karena Targetkan Muslim
Pasukan Israel Lukai Hampir 50 Warga Palestina Selama Protes Nakba
Ini Penyebab Uang Nasabah KUD Tri Jaya Banyuwangi Terancam Raib
Ketua Dekranasda Arumi Bachsin Buka Pameran Pernikahan Adat Jawa
Ini Hasil Tes Kejiwaan Terduga Pelaku Mutilasi di Malang
Dokter Nutrisi Imbau Orangtua Ajarkan Anak Puasa Secara Bertahap
Otoritas Zionis Israel Kembali Kurangi Zona Penangkapan Ikan di Lepas Pantai Gaza
Pesawat Koalisi Saudi Serang Wilayah yang Dikuasai Pemberontak Syi'ah Houtsi di Sana'a
Anggota Parlemen Austria Setujui Larangan Jilbab di Sekolah Dasar
Polisi Sri Lanka Tangkap 23 Tersangka karena Targetkan Muslim
Pasukan Israel Lukai Hampir 50 Warga Palestina Selama Protes Nakba
Ini Penyebab Uang Nasabah KUD Tri Jaya Banyuwangi Terancam Raib
Ketua Dekranasda Arumi Bachsin Buka Pameran Pernikahan Adat Jawa
Ini Hasil Tes Kejiwaan Terduga Pelaku Mutilasi di Malang